KH Rd. Muhammad Yusuf Prianadi Kartakoesoemah kupas tuntas tentang Maqom-maqom Thoriqoh Selengkapnya silahkan simak di link berikut..
Mengenang KH. Ahmad Asrori Ustman Al-Ishaqy Sang Mursyid Thoriqoh Qodiriyah wa NaqsabandiyyahPublished on August 30, 2009 in Artikel Ahmad Asrori Al-Ishaqi merupakan putera dari Kyai Utsman Al-Ishaqi. Beliau mengasuh Pondok Pesantren Al-Fithrah Kedinding Surabaya. Kelurahan Kedinding Lor terletak di Kecamatan Kenjeran Kota Surabaya. Di atas tanah kurang lebih 3 hektar berdiri Pondok Pesantren Al-Fithrah yang diasuh Kiai Ahmad Asrori, putra Kiai Utsman Al-Ishaqy. Nama Al-Ishaqy dinisbatkan kepada Maulana Ishaq, ayah Sunan Giri, karena Kiai Utsman masih keturunan Sunan dirunut, Kiai Ahmad Asrori memiliki darah keturunan hingga Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam yang ke 38, yakni Ahmad Asrori putra Kiai Utsman Al Ishaqi. Namanya dinisbatkan pada Maulana Ishaq ayah Sunan Giri. Karena Kiai Utsman masih keturunan Sunan Giri. Kiai Utsman berputra 13 silsilahnya Ahmad Asrori Al Ishaqi – Muhammad Utsman – Surati – Abdullah – Mbah Deso – Mbah Jarangan – Ki Ageng Mas – Ki Panembahan Bagus – Ki Ageng Pangeran Sedeng Rana – Panembahan Agung Sido Mergi – Pangeran Kawis Guo – Fadlullah Sido Sunan Prapen – Ali Sumodiro – Muhammad Ainul Yaqin Sunan Giri – Maulana Ishaq – Ibrahim Al Akbar – Ali Nurul Alam – Barokat Zainul Alam – Jamaluddin Al Akbar Al Husain – Ahmad Syah Jalalul Amri – Abdullah Khan – Abdul Malik – Alawi – Muhammad Shohib Mirbath – Ali Kholi’ Qasam – Alawi – Muhammad – Alawi – Ubaidillah – Ahmad Al Muhajir – Isa An Naqib Ar Rumi – Muhammad An Naqib – Ali Al Uraidli – Ja’far As Shodiq – Muhammad Al Baqir – Ali Zainal Abidin – Hussain Bin Ali – Ali Bin Abi Thalib / Fathimah Binti Rasulullah hidup, Kiai Utsman adalah mursyid Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. Dalam dunia Islam, tarekat Naqsyabandiyah dikenal sebagai tarekat yang penting dan memiliki penyebaran paling luas; cabang-cabangnya bisa ditemukan di banyak negeri antara Yugoslavia dan Mesir di belahan barat serta Indonesia dan Cina di belahan timur. Sepeninggal Kiai Utsman tahun 1984, atas penunjukan langsung Kiai Utsman, Kiai Ahmad Asrori meneruskan kedudukan mursyid ayahnya. Ketokohan Kiai Asrori berawal dari almarhum KH. Utsman adalah salah satu murid kesayangan KH. Romli Tamim ayah KH. Musta’in Rejoso, Jombang, Jawa Timur. Beliau dibaiat sebagai mursyid bersama Kiyai Makki Karangkates Kediri dan Kiai Bahri asal Mojokerto. Kemudian sepeninggal Kiai Musta’in sekitar tahun 1977, beliau mengadakan kegiatan sendiri di kediamannya Sawah Pulo jadilah Sawah Pulo sebagai sentra aktifitas thariqah di kota metropolis di samping Rejoso sendiri dan Cukir Jombang. Sepeninggal Kiai Utsman, tongkat estafet kemursyidan kemudian diberikan kepada putranya, Kiai Minan, sebelum akhirnya ke Kiai Asrori konon pengalihan tugas ini berdasarkan wasiat Kiai Utsman menjelang wafatnya. Di tangan Kiai Asrori inilah jama’ah yang hadir semakin membludak. Uniknya, sebelum memegang amanah itu, Kiai Asrori memilih membuka lahan baru, yakni di kawasan Kedinding Lor yang masih berupa tambak pada waktu dimulai dengan membangun masjid, secara perlahan dari uang yang berhasil dikumpulkan, sedikit demi sedikit tanah milik warga di sekitarnya ia beli, sehingga kini luasnya mencapai 2,5 hektar lebih. Dikisahkan, ada seorang tamu asal Jakarta yang cukup ternama dan kaya raya bersedia membantu pembangunan masjid dan pembebasan lahan sekaligus, tapi Kiai Asrori mencegahnya. “Terima kasih, kasihan orang lain yang mau ikutan menyumbang, pahala itu jangan diambil sendiri, lebih baik dibagi-bagi”, di atas lahan seluas 2,5 hektar itu Kiai Asrori mendirikan Pondok Pesantren Al Fithrah dengan ratusan santri putra putri dari berbagai pelosok tanah air. Untuk menampungnya, pihak pesantren mendirikan beberapa bangunan lantai dua untuk asrama putra, ruang belajar mengajar, penginapan tamu, rumah induk dan asrama putri dalam proses pembangunan serta bangunan masjid yang cukup Kiai Asrori, keberhasilannya boleh jadi karena kepribadiannya yang moderat namun ramah, di samping kapasitas keilmuan tentunya. Murid-muridnya yang telah menyatakan baiat ke Kiai Asrori tidak lagi terbatas kepada masyarakat awam yang telah berusia lanjut saja, akan tetapi telah menembus ke kalangan remaja, eksekutif, birokrat hingga para selebritis ternama. Jama’ahnya tidak lagi terbatas kepada para pecinta thariqah sejak awal, melainkan telah melebar ke komunitas yang pada mulanya justru asing dengan tak banyak diliput media massa, namanya tak asing lagi bagi masyarakat thariqah. Namun demikian, sekalipun namanya selalu dielu-elukan banyak orang, dakwahnya sangat menyejukkan hati dan selalu dinanti, Kiai Asrori tetap bersahaja dan ramah, termasuk saat menerima tamu. Beliau adalah sosok yang tidak banyak menuntut pelayanan layaknya orang besar, bahkan terkadang ia sendiri yang menyajikan suguhan untuk tanda menjadi panutan sudah nampak sejak masa mudanya. Masa mudanya dihabiskan untuk menuntut ilmu ke berbagai pondok pesantren di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Kala itu Kiai Asrori muda yang badannya kurus karena banyak tirakat dan berambut panjang memiliki geng bernama “orong-orong”, bermakna binatang yang keluarnya malam hari. Jama’ahnya rata-rata anak jalanan alias berandalan yang kemudian diajak mendekatkan diri kepada Allah lewat ibadah pada malam hari. Meski masih muda, Kiai Asrori adalah tokoh yang kharismatik dan disegani berbagai pihak, termasuk para pejabat dari kalangan sipil maupun sebagai mursyid dalam usia yang masih muda ternyata bukan perkara mudah. Banyak pengikut Kiai Utsman yang menolak mengakui Kiai Asrori sebagai pengganti yang sah. Sebuah riwayat menceritakan bahwa para penolak itu, pada tanggal 16 Maret 1988 berangkat meninggalkan Surabaya menuju Kebumen untuk melakukan baiat kepada Kiai Sonhaji. Tidak diketahui dengan pasti bagaimana sikap Kiai Asrori terhadap aksi tersebut namun sejarah mencatat bahwa Kiai Arori tak surut. Ia mendirikan pesantren Al-Fithrah di Kedinding Lor, sebuah pesantren dengan sistem klasikal, yang kurikulum pendidikannya menggabungkan pengetahuan umum dan pengajian kitab kuning. Ia juga menggagas Al-Khidmah, sebuah jamaah yang sebagian anggotanya adalah pengamal tarekat Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. Jamaah ini menarik karena sifatnya yang inklusif, ia tidak memihak salah satu organisasi sosial dihadiri tokoh-tokoh ormas politik dan pejabat negara, majelis-majelis yang diselenggarakan Al-Khidmah berlangsung dalam suasana murni keagamaan tanpa muatan-muatan politis yang membebani. Kiai Asrori seolah menyediakan Al-Khidmah sebagai ruang yang terbuka bagi siapa saja yang ingin menempuh perjalanan mendekat kepada Tuhan tanpa membedakan baju dan kulit luarnya. Pelan tapi pasti organisasi ini mendapatkan banyak pengikut. Saat ini diperkirakan jumlah mereka jutaan orang, tersebar luas di banyak provinsi di Indonesia, hingga Singapura dan Filipina. Dengan kesabaran dan perjuangannya yang luar biasa, Kiai Asrori terbukti mampu meneruskan kemursyidan yang ia dapat dari ayahnya. Bahkan lebih dari itu, ia berhasil mengembangkan Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah ke suatu posisi yang mungkin tak pernah ia Asrori adalah pribadi yang istimewa. Pengetahuan agamanya dalam dan kharisma memancar dari sosoknya yang sederhana. Tutur katanya lembut namun seperti menerobos relung-relung di kedalaman hati pendengarnya. Menurut keluarga dekatnya, sewaktu muda Kiai Asrori telah menunjukkan tak teratur. Ia belajar di Rejoso satu tahun, di Pare satu tahun, dan di Bendo satu tahun. Di Rejoso ia malah tidak aktif mengikuti kegiatan ngaji. Ketika hal itu dilaporkan kepada pimpinan pondok, Kiai Mustain Romli, ia seperti memaklumi, “biarkan saja, anak macan akhirnya jadi macan juga.” Meskipun belajarnya tidak tertib, yang sangat mengherankan, Kiai Asrori mampu membaca dan mengajarkan kitab Ihya’ Ulum al-Din karya Al-Ghazali dengan baik. Di kalangan pesantren, kepandaian luar biasa yang diperoleh seseorang tanpa melalui proses belajar yang wajar semacam itu sering disebut ilmu ladunni ilmu yang diperoleh langsung dari Allah SWT. Adakah Kiai Asrori mendapatkan ilmu laduni sepenuhnya adalah rahasia Tuhan, wallahu a’lam. Ayahnya sendiri juga kagum atas kepintaran anaknya. Suatu ketika Kiai Utsman pernah berkata “seandainya saya bukan ayahnya, saya mau kok ngaji kepadanya.” Barangkali itulah yang mendasari Kiai Utsman untuk menunjuk Kiai Asrori bukan kepada anak-anaknya yang lain yang lebih tua sebagai penerus kemursyidan Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah padahal saat itu Kiai Asrori masih relatif muda, 30 meninggal dunia pada hari ini 26 Sya’ban 1430 H./18 Agustus 2009 pukul 0220 WIB, KH. ASRORI BIN UTSMAN AL-ISHAQI, Kedinding SurabayaBeliau adalah mursyid Thoriqoh Qodiriyah & Naqsabandiyyah saat ini, semoga Allah senantiasa mengampuni semua dosanya
BacaJuga. Perkembangan Tarekat Rifa'iyah di Turki semasa pemerintahan Turki Usmaniyah (Ottoman) terbilang sangat pesat. Sejarah mencatat beberapa nama mursyid (pemimpin) Tarekat Rifa'iyah di Turki. Salah satunya adalah Syekh Abu Al-Huda Muhammad Al-Shayyadi (1850-1909). Syekh Shayyadi mendirikan salah satu cabang penting Tarekat Rifa'iyah. SEJARAH Qudusiyah tidak bisa dipisahkan dari kedua mursyid awal thariqah ini. Mereka adalah Bapak Suprapto bin Kadis Darmosuharto atau lebih dikenal dengan "Suprapto Kadis" oleh murid-muridnya, yang merupakan pendiri sekaligus mursyid pertama; dan Bapak Zamzam A. J. Tanuwijaya yang merupakan murid generasi paling awal dan menjadi mursyid penerus. Tugas kemursyidan Bapak Suprapto dimulai pada tahun 1992, yang bertepatan dengan 63 tahun usia beliau. Menurut penuturan Bapak, usia 63 tahun dimulainya tugas kemursyidan ini memiliki makna yang khusus, di mana itulah usia ketika Rasulullah SAW wafat, sehingga apa-apa yang diamanatkan kepada beliau ini merupakan simbol ilmu penerus Nabi. Oleh karenanya, tanggal 15 Juli 1992, yaitu tepat 63 tahun usia beliau dan tiga windu setelah Bapak Suprapto menerima amr ilahiah kemursyidan, ditetapkan sebagai hari lahir thariqah yang pada saat itu belum memiliki nama. Zamzam muda yang sudah mengenal Bapak sejak tahun 1983, diinisiasi sebagai salik pada tahun 1991 saat berusia 25 tahun di kediaman Bapak Suprapto di Cilegon, Banten. Bapak Zamzam pula yang mengusulkan thariqah ini diberi nama "Kadisiyah". Meski demikian Bapak Suprapto menuturkan, bahwa kata "Kadis" dalam bahasa Jawa semakna dengan "Qudus" dalam lisan Arab. Perkembangan Awal Selama periode 1988 — 1991, Bapak Suprapto diizinkan untuk menginisiasi beberapa salik sebagai persiapan sebelum secara resmi dan terbuka menerima murid. Selain Bapak Zamzam, di antara sedikit muridnya pada masa itu adalah Bapak Akbar Sutisna almarhum, wafat 1997, yang melalui keduanya ajaran thariqah ini mulai tersebar di Bandung dan Jakarta. Di Bandung, atas permintaan Mursyid, sejak 1992 Bapak Zamzam mulai membuka pengajian pengantar tasawuf, yang dinamai Kajian Serambi Suluk dan ditujukan bagi para calon salik pejalan suluk sebelum memasuki kehidupan suluknya di thariqah. Pengajian yang hingga sekarang masih terus berlangsung dan dikenal sebagai "Kajian Serambi Suluk" ini dikemas dalam bentuk perkuliahan mingguan, yang di dalamnya memperkenalkan aspek-aspek tasawuf dan thariqah di dalam Islam yang secara ketat merujuk kepada Al-Qur'an dan Sunnah. Salah satu topik sentral dalam ajaran thariqah yang dibawa oleh Bapak Suprapto adalah mendudukkan tasawuf Islam dalam kerangka dan landasan Al-Qur'an dan Sunnah. Hal ini tercermin dalam prasyarat untuk menjadi salik di thariqah ini, di mana para calon salik dipersyaratkan bagi yang sudah mengerjakan shalat lima waktu dan dapat membaca Al-Qur'an. Selain kedua prasyarat tersebut, seorang calon salik juga diharuskan memiliki pemahaman yang cukup atas persoalan kesulukan. Hal ini dilakukan karena adanya sebuah peringatan di dalam Al-Qur'an وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ ۚ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَـٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggungan jawab. – Al-Israa' [17] 36 Meneruskan Misi Suci Setelah kepindahan Beliau dari Cilegon ke Bandung di tahun 2008, tiga tahun kemudian, yakni tepatnya pada tanggal 13 Agustus 2011, Bapak Suprapto wafat dalam usia 82 tahun. Tongkat kemursyidan pun kemudian diteruskan oleh Bapak Zamzam Tanuwijaya, yang telah menerima amr ilahiah kemursyidan sejak awal-awal masa suluknya di bawah bimbingan Bapak Suprapto. Sejak saat itu, jumlah salik thariqah pun meningkat pesat hingga mencapai 700 orang pada tahun 2018, yang tersebar di berbagai kota di Indonesia, dan sebagian berdomisili di luar negeri. Pada 15 Juli 2018, yaitu tepat 50 tahun setelah Bapak Suprapto bertemu dengan qudrah dirinya, Bapak Zamzam, sebagai Mursyid Penerus Thariqah yang saat itu bernama "Kadisiyah", menetapkan perubahan nama thariqah menjadi "Qudusiyah". Nama "Qudusiyah" ini terkait erat dengan tema sentral pengajaran Bapak Suprapto, yakni untuk memperkenalkan kembali dan menjelaskan konsep Ruhul-Qudus yang termaktub di dalam Al-Qur'an kepada umat lihat Makna Nama dan Lambang. Perubahan nama dari "Kadisiyah" menjadi "Qudusiyah" adalah juga untuk memfokuskan kembali tema sentral thariqah ini dari "Kadis" sebagai persona yakni "Kadis" yang sebenarnya adalah nama ayah dari Mursyid Pendiri Bapak Suprapto kepada "Qudus" atau "ke-Ruhul-Qudus-an" yang menjadi misi utama pewartaan yang disandang oleh thariqah ini. قُلْ نَزَّلَهُ رُوحُ الْقُدُسِ مِن رَّبِّكَ بِالْحَقِّ لِيُثَبِّتَ الَّذِينَ آمَنُوا وَهُدًى وَبُشْرَىٰ لِلْمُسْلِمِينَ Katakanlah, "Ruhul Qudus menurunkannya dari Tuhanmu dengan kebenaran, untuk meneguhkan hati orang yang telah beriman, dan menjadi petunjuk serta kabar gembira bagi orang yang berserah diri kepada Allah." – An-Nahl [16] 102 Keterangan Foto Masjid Agung Demak di akhir abad ke-19 di awal tulisan ini berlisensi Creative Common CC BY-SA dan merupakan milik Tropen Museum, Belanda. Sumber foto terdapat di tautan ini. WoTo. 445 14 131 111 347 38 350 99 416