MAsebagai puncak peradilan menangani beberapa bidang kasasi, memutuskan perkara dalam tingkat terakhir hal ini merupakan kekuasaan bidang A. Pengawasan B. 1. salah satu pelaksanaan salah satu pelaksanaan kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencri keadilan pada umumnya, berdasarkan pasal 2 undang-undang nomot 2 tahun 1986 adalah peradilan ... A. Militer B. Agama C. Tata usaha negara D. Umum E. Mahkamah militer 2. Salah satu pelaksana kekuasaan kehakimaan yang mempunyai kompetensi memeriksa dan mengadili perkara pidana yang dilakukan oleh seeorang yang berstatus sebagai anggota militer atau yang disamakan dengan itu disebut peradila .... A. Umum B. Agama C. Militer D. Negeri E. Tinggi 3. Hukum adalah kumpulan peraturan yang dibentuk untuk mengatur masyarakat dalam mencari keadilan, oleh karena itu hukum bersifat ... A. Fleksibel B. Mendesak C. Sementara D. Mengikat E. Universal 4. Lembag yang bersifat mandiri dan mempunyai wewenang mengusulkan hakim agung, menjaga dan menjalankan kehormatan, keluhuran, martabat para hakim adalah... A. Mahkamah Agung B. Mahkamah Konstitusi C. Pengadilan Neeri D. Pengadilan Militer E. Komisi Yudisial 5. Pendapat para ahli hukun atau sarjana hukum terkemukaka disebut ... A. Dokrin B. Traktat C. Kebiasaan D. Justifikasi E. Yurisprudensi 6. Kewrnangn untuk memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh presiden dan wakil presiden menurut uud 1945 adalah ... A. Mahkamah Agung B. Mahkamah Konstitusi C. Pengadilan Tinggi D. Mahkamah Militet E. Komisi Yudisial 7. Berdasarkan UUD 1945 setelah amandemen lahirlah salah satu lembaga baru di lingkungn peradilan yaitu Mahkamah Konstitusi yang berwewenang untuk ... A. Menguji undang - undang terhadal UUD B. Memutus peradilan tingkat kasasi C. Mengangkat dab memberhentikan hakim D. Menguji secara material UUD 1945 E. Membentuk seluruh partai politik 8. Melakukan pengawasan terhadap jalannya peradilan di daerah hukumanya dan menjaga supaya peradilan diselenggalarakn denga sewajarnya merupakan salah satu fungsi peradilan ... A. Negeri B. Tinggi C. Agama D. Militer E. Tata udaha negara 9. Keberadaan MK dipandang sangat penting untuk menjalankan fungsi peradilan sebagai berikut ... A. Yudisial review, sengketa kewenangan antar lembaga negara, pembubaran parpol dan hasil pemilu B. Yudisial review, sengketa antar warga negara dan pembubaran partai peserta pemilu C. Sengketa hasil pemilihan gubernur kepala daerah dan pemilihan legislatif D. Pembubaran dan pembentukan partai politik peserta pemilu E. Sengketa antar lembagan negara dan pemerintah 10. Obyek pengadilan tata usaha negara meliputi bidang ... A. Hankam, politik dan sosial B. Politik, hankam dan HAM C. Sosial, politik dan ekonomi D. Ekonomi, politik dan budaya E. Sosial, ekonomi dan fungsi publik 11. Berdasarkan makna isi undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman dilakukan oleh MA yang meliputi lingkungan badan peradilan ... A. Agama B. Militer C. Umum D. Tata usaha negara E. Mahkamah konstiusi 12. MA sebagai puncak peradilan menangani beberapa bidang kasasi, memutuskan perkara dalam tingkat terakhir hal ini merupakan kekuasaan bidang... A. Pengawasan B. Pemberi nasehat C. Pengamanan D. Peradilan E. Pelaksanaan hukum 13. Hukum yang berlaku sekarang bagi suatu masyarakat tertentu disebut hukum... A. Objektif B. Subjektif C. Positif D. Materil E. Formal 14. Faktor yang mempengaruhi penegakan hukum yang terdapat dalam sistem hukum adalah ... -undang B. Kasadaran masyrakat C. Budaya D. Politik E. Penguasa negara 15. Aparatur negara yang merupakan penegak hukum adalah ... A. KPK, Hakim dan Jaksa B. Polisi, Hakim dan Jaksa C. KPK, Jaksa dan Pengacara D. KPK, Polisi dan Jakda E. Hakim, Polisi dan KPK
Hits 5077. Cara Pandang Terhadap Sosiologi Hukum (Sebuah Dialektika) Oleh Adeng Septi Irawan, S.H.[1] A.Pendahuluan. Filsafat hukum sebagai bagian dari disiplin ilmu hukum telah memiliki tradisi yang lama dan telah di kembangkan oleh ahli-ahli dan para pemikir di masa lalu. Filsafat hukum tersebut berusaha menghayati arti dan hakikat hukum itu
Mahasiswa/Alumni Universitas Negeri Malang15 Juni 2022 0145Jawaban yang benar adalah D. Peradilan. Yuk simak penjelasan di bawah ini! MA Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga tinggi negara yang memegang kekuasaan kehakiman. Di samping itu tugas dan wewenang MA ialah memeriksa dan memutus permohonan kasasi dan memeriksa dan memutus sengketa tentang kewenangan mengadili. Maka dari itu memutus perkara di tingkat akhir berarti kekuasaan di bidang peradilan. Berdasarkan penjelasan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa MA sebagai puncak peradilan menangani beberapa bidang kasasi, memutuskan perkara dalam tingkat terakhir hal ini merupakan kekuasaan bidang peradilan.Setelah keputusan majelis hakim pada pengadilan tingkat pertama, maka kami melakukan upaya banding dan diputus empat tahun penjara serta denda Rp800 juta subsider dua bulan kurungan," ujar Dino. Dikatakan, kliennya hanya dijerat dengan pasal 112 UU Tipikor dan tidak dikenakan pasal 127 sebagai dakwaan subsidair sebagai pemakai.
After the integration of the judiciary, the Supreme Court has a very large responsibility which previously only managed judicial techniques examining, adjudicating and deciding cases and administration at the Supreme Court level, but after that the Supreme Court had to manage judicial and organizational techniques, administration , and the finance in the Supreme Court and the Judicial Agency below is supplemented by the authority of judicial review of legislation under the Act. However, with unification, cassation and authority judicial review can lead to accumulation of cases in the Supreme Court, so that this is contrary to the principle of fast justice and low costs and legal certainty will be ruled out. In addition, cases of judicial review at the Supreme Court also exclude the principle of audi et alteram partem, namely the statement heard by the parties in the trial, while the proceedings in the Supreme Court do not adhere to the principle as in the Constitutional Court which is open to the Judicial Review, Audi et Alteram Partem, Constitutional Court. adanya penyatuatapan lembaga peradilan, Mahkamah Agung memiliki tanggung jawab yang sangat besar yang sebelumnya hanya mengelola teknis yudisial memeriksa, mengadili, dan memutus perkara dan administrasi di tingkat Mahkamah Agung, akan tetapi setelah itu Mahkamah Agung harus mengelola teknis yudisial dan organisasi, administrasi, serta finansial di Mahkamah Agung dan Badan Peradilan di bawahnya ditambah lagi dengan kewenangan judicial review peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang. Namun, dengan penyatuatapan, kasasi dan kewenagan judicial review dapat mengakibatkan menumpuknya perkara di Mahkamah Agung, sehingga hal tersebut bertentangan dengan asas peradilan cepat dan biaya ringan serta kepastian hukum akan dikesampingkan. Selain itu, perkara judicial review di Mahkamah Agung juga mengenyampingkan prinsip audi et alteram partem yakni keterangan didengarkan oleh para pihak di dalam persidangan, sedangkan proses persidangan dalam Mahkamah Agung tidak menganut prinsip seperti di Mahkamah Konstitusi yang bersifat terbuka untuk umum. Kata Kunci Judicial Review, Audi et Alteram Partem, Mahkamah Konstitusi Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free SALAM; Jurnal Sosial & Budaya Syar-i FSH UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Vol. 6 No. 1 2019, DOI - 97 Penyelesaian Satu Atap Perkara Judicial Review Di Mahkamah Konstitusi One-Roof Settlement on the Case of Judicial Review in the Constitutional Court Muhammad Ishar HelmiPusat Studi Konstitusi dan Legislasi Nasional Poskolegnas Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Abstract. After the integration of the judiciary, the Supreme Court has a very large responsibility which previously only managed judicial techniques examining, adjudicating and deciding cases and administration at the Supreme Court level, but after that the Supreme Court had to manage judicial and organizational techniques, administration , and the finance in the Supreme Court and the Judicial Agency below is supplemented by the authority of judicial review of legislation under the Act. However, with unification, cassation and authority judicial review can lead to accumulation of cases in the Supreme Court, so that this is contrary to the principle of fast justice and low costs and legal certainty will be ruled out. In addition, cases of judicial review at the Supreme Court also exclude the principle of audi et alteram partem, namely the statement heard by the parties in the trial, while the proceedings in the Supreme Court do not adhere to the principle as in the Constitutional Court which is open to the public. Keywords Judicial Review, Audi et Alteram Partem, Constitutional Court. Abstrak. Setelah adanya penyatuatapan lembaga peradilan, Mahkamah Agung memiliki tanggung jawab yang sangat besar yang sebelumnya hanya mengelola teknis yudisial memeriksa, mengadili, dan memutus perkara dan administrasi di tingkat Mahkamah Agung, akan tetapi setelah itu Mahkamah Agung harus mengelola teknis yudisial dan organisasi, administrasi, serta finansial di Mahkamah Agung dan Badan Peradilan di bawahnya ditambah lagi dengan kewenangan judicial review peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang. Namun, dengan penyatuatapan, kasasi dan kewenagan judicial review dapat mengakibatkan menumpuknya perkara di Mahkamah Agung, sehingga hal tersebut bertentangan dengan asas peradilan cepat dan biaya ringan serta kepastian hukum akan dikesampingkan. Selain itu, perkara judicial review di Mahkamah Agung juga mengenyampingkan prinsip audi et alteram partem yakni keterangan didengarkan oleh para pihak di dalam persidangan, sedangkan proses persidangan dalam Mahkamah Agung tidak menganut prinsip seperti di Mahkamah Konstitusi yang bersifat terbuka untuk umum. Kata Kunci Judicial Review, Audi et Alteram Partem, Mahkamah Konstitusi  Diterima 22 September 2018, Revisi 21 Desember 2018, Dipublikasi 02 Februari 2019. Muhammad Ishar Helmi adalah Dosen Bidang Hukum Tata Negera pada Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. E-mail izharhelmi Muhammad Ishar Helmi 98 – Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Pendahuluan Sejak tahun 1999, Indonesia telah memberlakukan sistem kekuasaan kehakiman menjadi satu atap one roof system. Hal ini secara tegas diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Kekuasaan Kehakiman, kemudian konsep satu atap lebih lanjut dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang Nomor 5 tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Selanjutnya, diterbitkanlah Keputusan Presiden Nomor 21 Tahun 2004 untuk pengalihan administrasi kekuasaan Kehakiman dari Pemerintah ke Mahkamah sistem satu atap pada kekuasaan kehakiman di Indonesia memiliki dampak tersendiri, yaitu salah satunya adalah lahirnya Mahkamah Konstitusi yang berpengaruh besar terhadap kewenangan judicial review atau pengujian peraturan perundang-undangan di Indonesia. Mahkamah Konstitusi saat itu merupakan bagian dari pelaksana kekuasaan kehakiman yang memiliki tugas melakukan Judicial Review, peninjauan dan atau pengujian kembali terhadap putusan badan legislasi dan atau kewenangan judicial review hanya diberikan kepada Mahkamah Agung sebagai satu-satunya lembaga dalam kekuasaan yudikatif saat itu. Pada perkembangannya setelah adanya Mahkamah Konstitusi, kewenangan yang dimiliki Mahkamah Agung mengenai judicial review masih tetap ada. Akan tetapi, adanya pemisahan antara kewenangan judicial review yang dimiliki keduanya. Mahkamah Agung hanya memiliki kewenangan judicial review peraturan perundang-undangan dibawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang, sedangkan Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan judicial review Undang-Undang di bawah Undang-Undang Dasar terhadap Undang-Undang Nurul Qamar, Kewenangan Judicial Review Mahkamah Konstitusi, Jurnal Konstitusi, Vol. 1 No. 1, November 2012, h. 2. Lihat pasal 24A ayat 1, menegaskan bahwa “Mahkamah Agung berwenang mengadili dalam tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang dan mempunyai kewenangan lain yang diberikan didalam undang-undang”, adapun peraturan dibawah undang-undang yakni mengenai Peraturan Pemerintah PP, Peraturan Presiden Perpres, Peraturan Daerah Perda, dan Peraturan yang dibuat oleh lembaga negara lain. Lihat pasal 24C ayat 1, menegaskan bahwa “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan Penyelesaian Satu Atap Perkara Judicial Review Di Mahkamah Konstitusi Salam Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i. Volume 6 Nomor 1 2019. ISSN 2356-1459. E-ISSN 2654-9050 - 99 Selanjutnya, di dalam diri Mahkamah Agung sendiri adanya penyatuatapan lembaga peradilan dibawahnya. Setelah adanya reformasi peradilan, Mahkamah Agung memiliki tanggung jawab yang sangat besar yang sebelumnya hanya mengelola teknis yudisial memeriksa, mengadili, dan memutus perkara dan administrasi di tingkat Mahkamah Agung, namun setelah itu Mahkamah Agung harus mengelola teknis yudisial dan organisasi, administrasi, serta finansial di Mahkamah Agung dan Badan Peradilan di saat itu, Mahkamah Agung menjadi salah satu lembaga negara terbesar di antara lembaga negara yang lain. Adapun permasalahan yang muncul setelah penyatuatapan, yakni belum tersedianya sistem organisasi, administrasi dan finansial yang dapat mengintegrasikan sistem di Mahakamah Agung dan empat badan peradilan. Solusi yang dilakukan Mahakamah Agung ternyata hanya bersifat menggabungkan organisasi yang ada di Mahakamah Agung dan badan peradilan, bukan membangun sistem organisasi yang terintegrasi dan komprehensif sebagai konsekuensi diterapkannya sistem satu atap. Hal ini tentu saja bertentangan dengan tujuan lain dari pemberlakuan sistem satu atap, yaitu pengelolaan badan peradilan dapat lebih efisien dan efektif. Akibatnya, penggabungan Mahakamah Agung dan empat badan peradilan menimbulkan membengkaknya organisasi dan berlakunya banyak sistem yang menimbulkan tumpang tindih kewenangan dan fungsi kerja serta keruwetan pengelolaan Mahakamah Agung. Selain masalah yang disebutkan diatas, sekilas terlihat bahwa dengan adanya pembagian kekuasaan judicial review dari dua lembaga yakni Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung tidak memberikan dampak hukum apa-apa justru dapat mencegah adanya penumpukan perkara yang tentu saja berdampak pada kekosongan hukum. Meski sudah lama masalah penyatuatapan mengenai judicial review di sarankan untuk di tangani oleh Mahkamah Kostitusi, akan tetapi saran tersebut di anggap angin lalu dan tidak adanya kejelasan mengenai masalah penyatuatapan tersebut. Adapun dasar ide dari dibentuknya judicial review yaitu mengenai cara pembentukan dari peraturan perundang-undang agar tetap sejalan dengan norma hukum yang berlaku di Indonesia yakni dengan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”. Kamaruddin, Diskursus Penyatu Atapan Peradilan Agama Di Bawah Mahkamah Agung Studi Hukum Responsif, Jurnal AL-'Adl Vol. 8 No. 1, Januari 2015, Muhammad Ishar Helmi 100 – Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tidak bertentangan dengan aturan yang diatasnya yaitu lembaga Mahkamah Konstitusi yakni dalam rangka penyempurnaan sistem kewenangan judicial review, akan tetapi pada kenyataannya pengaturan tersebut justru rentan menimbukan berbagai polemik hukum baru. Keberadaan Kekuasaan Kehakiman Pasca Reformasi Kekuasaan kehakiman merupakan pilar ketiga dalam tatanan negara modern, fungsi kekuasaan ketiga ini sering di sebut cabang kekuasaan yudikatif. Dalam sistem negara yang modern, cabang kekuasaan kehakiman diorganisasikan secara untuk melahirkan sistem konstitusionalisme, mendorong perubahan terhadap konstitusi. Perubahan atau amandemen konstitusi membawa perubahan besar dalam sistem ketatanegaraan terutama pasca reformasi. Salah satu perubahan tersebut yakni diaturnya lembaga Mahkamah Konstitusi MK, disamping Mahkamah Agung MA. Eksistensi MK diatur dalam BAB IX Pasal 24 ayat 2 UUD 1945 yang menyatakan bahwa Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Berdasarkan ketentuan tersebut baik MA maupun MK berkedudukan yang setara, yakni sebagai pelaku kekuasaan kehakiman dalam tugas dan wewenang Judicial Review Kewenangan MK untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar merupakan fenomena baru dalam kehidupan ketatanegaraan. Pasca dibentuknya lembaga itu, permohonan pengujian Undang-Undang semakin meningkat. Peningkatannya tersebut baik kualitatif maupun kuantitatif pengujian Undang-Undang merupakan bentuk pelaksanaan demokrasi konstitusionalisme di Indonesia, hal itu berarti kehadiran MK adalah untuk meneguhkan supremasi hukum dan kedaulatan rakyat. Negara hukum dan Mahfud, MD. Mengawal Arah Politik Hukum Dari Prolegnas sampai Judicial Review, diakses 20 Januari 2019 Jimly Asshidiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Rajawali Pers Jakarta, 2009, Jimly Asshiddiqie, Kedudukan Mahkamah Konstitusi dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Makalah Kuliah Umum di Fakultas Hukum Universistas Sebelas Maret, Surakarta, 2 September 2004, Penyelesaian Satu Atap Perkara Judicial Review Di Mahkamah Konstitusi Salam Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i. Volume 6 Nomor 1 2019. ISSN 2356-1459. E-ISSN 2654-9050 - 101 kedaulatan rakyat merupakan dua sisi dari prinsip konstitusionalisme tersebut. Faham konstitusionalisme “bertolak dari pemikiran tentang hak-hak konstitusional yang merupakan hak-hak yang dijamin oleh konstitusi, yang dapat ditegakkan pemenuhannya melalui pengadilan.”Berlakunya konstitusi sebagai hukum dasar menurut Jimly, didasarkan atas kekuasaan tertinggi atau prinsip kedaulatan yang dianut dalam suatu Negara, agar konstitusi benar-benar menjadi hukum tertinggi maka ketentuan-ketentuan dasar konstitusional yang menjadi materi muatannya harus dilaksanakan melalui perundang-undangan di bawah konstitusi. Peraturan perundang-undangan baik yang dibuat oleh legislatif maupun peraturan pelaksanaan yang dibuat oleh eksekutif tidak boleh bertentangan dengan konstitusi itu sendiri, apabila terjadi pertentangan kemudian memunculkan wacana tentang hak menguji judicial review. Dalam doktrin ilmu hukum tata negara, “hak menguji dibedakan atas hak menguji formil dan hak menguji materiil.”Mengenai kewenangan MA untuk menguji peraturan perundang-undangan dibawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang, dapat dikatakan sebagai upaya pengujian legalitas legal review. Pengujian yang dilakukan oleh MA ini jelas berbeda dari pengujian konstitusional constitutional review yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi. Pertama, objek yang diuji hanya terbatas pada peraturan perundang-undangan dibawah Undang-Undang judicial review of regulation. Sedangkan pengujian atas konstitusionalitas Undang-Undang judicial review of law dilakukan oleh Mahkamah yang dijadikan batu penguji oleh Mahkamah Agung adalah Undang-Undang, bukan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa pengujian norma hukum yang dilakukan oleh MA adalah pengujian legalitas peraturan judicial review on the legality of regulation, sedangkan pengujian oleh MK merupakan pengujian konstitusionalitas Undang-Undang judicial review on the constitutionality of law. I Dewa Gede Palguna, PengaduanKonstitusional Constitutional Complaint Upaya Hukum terhadap Pelanggaran Hak-hak Konstitusional Warganegara, Sinar Grafika Jakarta, 2013, Jimly Asshiddiqie, Gagasan Dasar tentang Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi dalam Butir-butir Pemikiran dalam Hukum, Memperingati 70 tahun B. Arief Shiddarta, SH. Penyunting Sri Rahayu Oktoberina dan Niken Savitri, Refika Aditama Bandung, 2008, Moh Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universita Indonesia, Jakarta 1983, Jimly Assiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Setjen dan kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2006, Muhammad Ishar Helmi 102 – Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Yang terakhir ini biasa disebut juga dengan istilah pengujian konstitusionalitas atas Undang-Undang constitutional review of law.Ketiga, Pengujian yang dilakukan di MA terkadang tidak sejalan dengan putusan yang di lakukan di MK dengan artian bahwa Undang-Undang yang diputus MK terkadang masih menjadi polemik oleh MA baik dari segi waktu dan materi yang diputuskan. Jimly Asshiddiqie menegaskan “pada intinya prinsip-prinsip pemisahan atau pembagian kekuasaan itu dimaksudkan untuk membatasi kekuasaan negara itu dari kemungkinan menjadi sumber penindasan dan tindakan yang sewenang-wenang pada penguasa.” Pengaturan dan pembatasan kekuasaan itu menurut Jimly yang menjadi ciri konstitusionalisme dan sekaligus tugas utama konstitusi, sehingga kemungkinan kesewenangwenangan kekuasaan dapat dikendalikan dan diminimalkan. Berkaitan dengan pembagian kekuasaan, Jimly juga membedakan antara pemisahan kekuasaan secara horizontal dalam arti kekuasaan dipisah-pisahkan ke dalam fungsi-fungsi yang tercermin dalam lembaga-lembaga negara yang sederajat dan saling mengimbangi cheks and balences. Sedangkan pembagian kekuasaan yang bersifat vertikal dalam arti perwujudan kekuasaan itu dibedakan secara vertikal ke bawah kepada lembaga-lembaga tinggi negara di bawah lembaga pemegang kedaulatan rakyat. Dualisme Judicial Review di Indonesia Indonesia menganut sistem dualisme konstitusi yang mana pengujian peraturan perundang-undangan dilakukan oleh badan yudikatif yakni Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, keduanya memiliki kesamaan dalam kewenangan yakni mengadili permohonan judicial review. Seperti yang diketahui perbedaan dalam proses persidangan mengenai pengujian peraturan terhadap Undang-Undang antara lembaga MA dan MK cukup menonjol dan bertolak antara keduanya yakni adanya perbedaan transparansi dalam proses pengadilan, yang mana persidangan di MK telah menerapkan prinsip audi et alteram partem yakni keterangan didengarkan oleh para pihak di dalam persidangan, sedangkan proses persidangan dalam MA tidak menganut prinsip seperti MK tersebut yang mana dalam pengujian Mahkamah Agung ini bersifat tertutup sehingga tidak menerapkan asas audi et alteram partem, pengujian hanya Jimly Assiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan dalam UUD 1945, UII Press, Yogyakarta, 2005, Erli Salia, Peran Mahkamah Konstitusi Dalam Mewujudkan Negara Hukum Yang demokratis, Makalah, Palembang, Penyelesaian Satu Atap Perkara Judicial Review Di Mahkamah Konstitusi Salam Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i. Volume 6 Nomor 1 2019. ISSN 2356-1459. E-ISSN 2654-9050 - 103 dilakukan terhadap berkas permohonan yang diajukan oleh pemohon dan berkas jawaban yang dari pihak termohon. Hal ini justru yang menimbulkan polemik, sebagaimana diketahui bahwa peraturan perundang-undangan dibawah Undang-Undang sanggat luas cakupannya yaitu mulai dari Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Menteri, Peraturan Lembaga, dan Peraturan Daerah provinsi/kabupaten/kota. Kasus-kasus mengenai peraturan tersebut mengakibatkan membengkaknya permohonan judicial review di MA. Adapun proses persidangan di MA selama ini telah melanggar Pasal 13 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Seperti yang telah di atur dan ditegaskan didalam Pasal 13 Undang-Undsng Kekuasaan Kehakiman, bahwa seluruh pemeriksaan pengadilan terbuka untuk umum dan putusan pengadilan hanya sah dan memiliki kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. Tertutupnya proses pemeriksaan di tingkat MA hanya akan mempersulit proses pengajuan judicial review maka dari itu tidak menutup kemungkinan masyarakat nantinya akan mengajukan usul mengenai Perda diskriminatif mengenai proses pemeriksaan serta pengadilan di MA. Proses pengujian yang selama ini dilakukan di MA telah melanggar asas independensi dan partial juga asas peradilan cepat dan biaya ringan. putusan MA yang tidak langsung berlaku akan berdampak pada tidak adanya kepastian hukum sehingga hanya akan menimbulkan penyalahgunaan kewenangan. Pada saat ini telah jelas kita lihat bahwa kewenangan yang dimiliki oleh MK dalam pengujian Undang-Undang ternyata berpelung besar dalam menggugurkan putusan perkara judicial review yang ada di MA tersebut. Penyerahan kewenangan judicial review oleh MA dan MK menyisakan kerumitan tersendiri dalam hal pengujian, yang mana peraturan perundang-undangan tidak bertentangan secara langsung dengan aturan setingkatnya akan tetapi bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi, contohnya seperti Peraturan Pemerintah yang tidak bertentangan dengan Undang-Undang akan tetapi bertentangan langsung dengan Undang-Undang Dasar, terlepas dari siapa yang berwenang terhadap materi peraturan yang bertentangan dengan materi peraturan lebih tinggi, pada nyatanya MA tidak berwenang dalam pengujian karena MA menggunakan batu uji Undang-Undang sedangkan peraturan yang hendak di uji tidak bertentangan dengan Undang-Undang terkait tetapi berkaitan dengan Undang-Undang Dasar yang mana bukanlah ranah dari Mahkamah Agung. Dan jika tetap di uji di MK bukanlah kompetensi MK tetapi Muhammad Ishar Helmi 104 – Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ranah dari MA. Hal tersebut yang dapat menimbulkan kerumitan dalam penyelesaian sengketa peraturan Satu Atap Peraturan Perundang-Undangan di Mahkamah Konstitusi Secara teori tidak terdapat hubungan antara MK dan MA, karena kedua lembaga tersebut memiliki objek kewenangan yang berbeda dalam hal kewenangan judicial review. Sehingga sepintas terlihat kondisi ini tidak adanya hubungan diantara kedua lembaga tersebut. namun harus kita pahami sebelumnya, bahwa kewenangan dua lembaga tersebut berada dalam satu jenjang hirarki perundang-undangan, yakni a. Undang-Undang Dasar 1945, b Tap MPR, c Undang-Undang/PERPU, d Peraturan Pemerintah, d Peraturan Presiden, e Perda Provinsi, f Perda Kab/kota. Dengan demikian segala peraturan perundang-undangan wajib tunduk kepada peraturan perundang-undangan di atasnya kalaupun pada akhirnya ditemukan suatu peraturan undang-undang yang bertentangan dengan peraturan perundang-undang diatasnya, maka disinilah perlu adanya pengujian agar terciptanya keselarasan dalam peraturan perundang-undangan. Gagasan penyatuatapan pengujian peraturan perundang-undang dalam jangka panjang dapat diupayakan berkesinambungan including of law and justice. Kehadiran MK dengan tugas pokok dan fungsinya adalah dalam rangka memperkuat prinsip negara hukum, demokrasi dan perlindungan hak asasi manusia. Kehadiran MK juga dapat dipandang sebagai bagian dari usaha pembaharuan sistem hukum dengan mengokohkan fundamennya pada konstitusi. Dengan demikan, tidak ada lagi Undang-Undang yang bertentangan dengan konstitusi. Persoalan dalam hal kewenangan judicial review antara MA dan MK semakin terbuka lebar. dengan adanya ketentuan ini, maka Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara memiliki kesempatan untuk tidak melaksanakan putusan MA seketika sejak putusan di bacakan sampai tenggang waktu 90 hari sejak pembacaan putusan. Dalam tenggang waktu 90 hari tersebut dimana Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara belum menjalankan putusan terkait perkara judicial review yang dikelurakan oleh MA, sangat terbuka kemungkinan adanya Janpatar Simamora, Analisis Yuridis Terhadap Model Kewenangan Judicial Review di Indonesia, Fakultas Hukum Universitas HKBP Nommensen, Oktober 2013, Pasal 7 ayat 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undagan. Lihat Pasal 8 ayat 2 Perma Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Uji Materi. Penyelesaian Satu Atap Perkara Judicial Review Di Mahkamah Konstitusi Salam Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i. Volume 6 Nomor 1 2019. ISSN 2356-1459. E-ISSN 2654-9050 - 105 pihak-pihak lain yang mengajukan perkara judicial review terhadap MK dengan objek persoalan ketentuan Undang-Undang yang telah dijadikan MA sebagi dasar hukum judicial review di tingkat bawahnya. Dalam suatu negara hukum yang mengedepankan prinsip demokrasi haruslah memenuhi unsur yang relavan untuk di terapkan dalam suatu pengujian peraturan perundang-undangan yakni the supremacy of law atau supremasi hukum. Pada prinsipnya bahwa hukum harus berada di tempat yang tertinggi dalam tatanan suatu negara yang mana hukum tersebut harus dapat memberikan jaminan kepastian dan keadilan. Oleh karena itu, sangat tidak mungkin bilamana kewenangan pengujian peraturan perundang-undangan dipisah antara MK dan MA. Dengan demikian, seharusnya lembaga peradilan yang diberikan wewenang untuk menguji peraturan perundang-undangan atau judicial review cukup satu lembaga peradilan yang menangani perkara judicial review yakni Mahkamah Konstitusi dengan tolak ukur pengujiannya adalah peraturan perundang-undang yang kedudukannya satu tingkat lebih tinggi dari objek yang diuji sampai dengan peraturan perundang-undangan yang tertinggi yakni Undang-Undang Dasar 1945. Menurut Prof Jimly Asshidiqie, pembagian tugas pada judicial review atas peraturan perundang-undang antara MK dan MA bukan suatu yang ideal, karena dapat menimbulkan perdebatan atas putusan yang saling bertentangan antara Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung. Jimly Asshiddqie berpandangan idealnya kewenangan menguji peraturan perundang-undangan dibebankan kepada MK sebagai penyatuatapan pengujian undang-undang including of law and justice;meskipun gagasan itu disadari olehnya bahwa tidak mudah direalisasikan karena perbedaan pengertian, konsep didasarkan kepada prinsip demokrasi yang terus dikembangkan. Namun bertolak dari prinsip bahwa MK merupakan the guardian of the constitution dan MA sebagai the guardian of the Indonesian law. MA mengawal undang-undang dan peraturan di bawahnya baik melalui pengujian maupun melalui peradilan, sedangkan MK mengawasi konstitusi. Pandangan ini berkembang lebih lanjut dengan pemikiran bahwa MK merupakan Court of Law dan MA sebagai Court of Justice. Sebagai Court of Law court of constitution maka putusannya bersifat final Safi', Urgensi Penyatuan Kewenangan Pengujian Peraturan Perundang-undangan oleh Lembaga Peradilan Judicial Review Di Indonesia, Jurnal Rechtidee, Vol 11 No. 2, Desember 2016, Jimly Asshidiqie, Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara, Konstitusi Pers Jakarta, 2006, Muhammad Ishar Helmi 106 – Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan mengikat final and binding sedangkan sebagai Court of Justice, terhadap putusan dapat dilakukan pengujian ditingkat selanjutnya, untuk tercapainya keadilan. Sementara itu MK lebih concern berusaha untuk menciptakan kesatuan tata hukum dalam negara hukum. Ada empat alasan yang menyebabkan pemisahan pengujian peraturan tersebut menjadi tidak ideal, yaitu sebagai berikut1. Pemberian kewenangan pengujian Judicial Review, uji materi Undang-Undang terhadap Undang-Undang dasar kepada MK yang baru dibentuk mengesankan hanya sebagian tambahan perumusan terhadap materi Undang-Undang Dasar secara mudah dan tambal sulam, seakan-akan konsepsi hak uji materiil peraturan yang ada di tangan MA tidak turut berpengaruh dengan hak uji yang diberikan kepada MK. Perumusan demikian terkesan seakan kurang didasarkan atas pendalaman konseptual berkenaan dengan konsepsi uji materi itu sendiri secara komprehensif; 2. Pemisahan kewenangan itu masuk akal untuk dilakukan jika sistem kekuasaan yang di anut masih didasarkan atas prinsip pembagian kekuasaan sebagaimana yang dianut oleh Undang-Undang Dasar 1945 sebelum mengalami perubahan pertama dan kedua, Undang-Undang Dasar 1945 setelah perubahan telah resmi dan tegas menganut prinsip pemisahan kekuasaan horizontal mengutamakan prinsip checks and balances. Oleh karena itu, pemisahan antara materi Undang-Undang dan materi peraturan di mahkamah konstitusi merupakan lembaga yang dibentuk guna menguji peraturan Undang-Undang dibawah Undang-Undang Dasar bawah undang-undang tidak seharusnya dilakukan lagi; 3. Pada praktik pelaksanaannya nanti, secara hipotetis dapat timbul pertentangan substantif antara putusan MA dengan putusan MK. Oleh karena itu, sebaiknya sistem pengujian peraturan perundang-undangan di bawah konstitusi diintegrasikan saja di bawah MK. Dengan demikian masing-masing Mahkamah dapat memfokuskan perhatian pada masalah yang berbeda. MA menangani persoalan keadilan dan ketidakadilan bagi warga negara, sedangkan MK menjamin konstitusionalitas keseluruhan peraturan perundang-undangan; 4. Jika kewenangan pengujian materi peraturan di bawah UUD sepenuhnya diberikan kepada MK, tentu beban MA dapat dikurangi. Sedangkan dalam prespektif teori wewenang, teori politik hukum dan teori pengujian norma hukum, pilihan penyatuan kewenangan pengujian Safi', Urgensi Penyatuan Kewenangan Pengujian Peraturan Perundang-undangan oleh Lembaga Peradilan Judicial Review Di Indonesia, Jurnal Rechtidee, Vol 11 No. 2, Desember 2016, h. 218-219. Penyelesaian Satu Atap Perkara Judicial Review Di Mahkamah Konstitusi Salam Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i. Volume 6 Nomor 1 2019. ISSN 2356-1459. E-ISSN 2654-9050 - 107 peraturan perundang-undangan dibawah Mahkamah Konstitusi, juga didasari oleh beberapa alasan hukum sebagai berikutPertama, untuk mengurangi beban pekerjaan penanganan perkara di MA yang luar biasa banyaknya. Sehingga dengan diintegrasikannya kewenangan pengujian peraturan perundang-undangan dibawah Mahkamah Konstitusi, diharapkan Mahkamah Agung akan lebih fokus pada penanganan perkara konkrit ditingkat kasasi dan peninjauan kembali bagi para pencari keadilan teori wewenang dan politik hukum. Kedua, untuk memberikan kepastian dan keadilan kepada masyarakat karena tidak aka ada lagi perbedaan penafsiran atau putusan yang saling bertentangan antara Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi teori politik hukum. Ketiga, akan lebih efisien dan efektif dari segi waktu penyelenggaraan pengujiannya. Sehingga tidak perlu lagi ada pengaturan larangan bagi Mahkamah Agung untuk menguji suatu peraturan dibawah undang-undang manakala di Mahkamah Konstitusi sedang diuji undang-undang yang berkaitan dengan peraturan yang akan diujikan di Mahkamah Agung sebagaimana diatur dalam Pasal 55 Undang-Undnag Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, serta akan dapat lebih menjamin harmonisasi materi peraturan perundang-undangan melalui mekanisme kontrol normatif teori pengujian norma hukum. Selain itu, Menurut hasil penelitian disertasi Zainal Arifin Hoesein, dilihat dari segi praktis efisien dan efektivitas, justru pengujian peraturan perundang-undangan oleh Mahkamah Agung berjalan sangat tidak efektif, karena rata-rata perkara yang diselesaikan per tahun antara gugatan dan 3 perkara permohonan. Sebaliknya, Mahkamah Konstitusi justru lebih produktif, karena hanya dalam 1 satu tahun 1 satu bulan dapat menyelesaikan 22 dua puiuh dua perkara . Keempat, karena dari prespektif teori wewenang dan teori politik hukum, tujuan dibentuknya serta tugas dan fungsi utama Mahkamah Konstitusi sebagaimana dijelaskan dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi adalah untuk menangani perkara ketatanegaraan atau perkara konstitusi tertentu dalam rangka konstitusi agar dilaksanakan secara bertanggungjawab sesuai kehendak rakyat dan cita-cita demokrasi. Keberadaan MK sekaligus untuk menjaga terselenggaranya pemerintahan negara yang stabil, dan juga merupakan koreksi terhadap Safi, Urgensi Penyatuan Kewenangan Pengujian Peraturan Perundang-undangan oleh Lembaga Peradilan Judicial Review Di Indonesia, Rechtidee, , Desember 2016, h. 222. Muhammad Ishar Helmi 108 – Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pengalaman kehidupan ketatanegaraan di masa lalu yang ditimbulkan oleh tafsir ganda terhadap konstitusi. Oleh karena itu, Mahkamah Konstitusi selain sebagai penjaga konstitusi the guardian of the constitution, Mahkamah Konstitusi juga merupakan penafsir tertinggi konstitusi the sole interpreter of constitution. Kelima, karena hukum acara pengujian peraturan perundang-undangan di Mahkamah Konstitusi lebih terbuka dibanding dengan hukum acara pengujian peraturan perundang-undangan di Mahkamah Agung, yaitu dengan melibatkan dan mengundang pemohon, termohon, dan pihak terkait dalam setiap tahapan potensial akan muncul sebagai efek samping dari judicial review yang pada praktiknya dilakukan oleh dua lembaga, dalam hal ini MA dan MK. Padahal sesuai dengan prinsip hukum yang berjenjang Stufenbau Theory, peraturan perundang-undangan akan saling kait mengait, utamanya secara vertikal. Peraturan perundang-undangan yang memiliki derajat lebih tinggi menjadi dasar dan cantolan bagi peraturan perundang-undangan di bawahnya, demikian seterusnya. Karenanya, berlaku asas lex superior derogat lex inferior dimana peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Oleh karena dilakukan dua lembaga berbeda, tidak mustahil akan terjadi persinggungan normatif secara vertikal yang justru bersifat kontradiktif terhadap tujuan judicial review untuk menjamin harmonisasi dan tertib hukum. Sangat mungkin, dalam praktik masing-masing, kedua lembaga tersebut menggunakan tolok ukur hukum yang berbeda untuk peraturan perundang-undangan terkait yang dapat saja berujung pada putusan yang berbeda secara mencolok. Keberadaan lembaga MK menjadi nafas dan semangat baru, bahwa cita hukum rechtsidee dan cita negara staatsidee harus dijaga. Namun cukupkah MK menjadi lembaga penafsir Undang-Undang semata, karena aturan di bawah Undang-Undang tetap tidak boleh bertentangan dengan konstitusi. Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga peradilan tingkat pertama dan terakhir tidak mempunyai struktur organisasi sebesar Mahkamah Agung yang merupakan puncak sistem peradilan yang strukturnya bertingkat secara vertikal dan secara horizontal mencakup lima lingkungan peradilan, yaitu lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan tata usaha negara, lingkungan peradilan agama, dan lingkungan peradilan militer. Mahkamah Agung sudah sedemikian banyak Safi', Urgensi Penyatuan Kewenangan Pengujian Peraturan Perundang-undangan oleh Lembaga Peradilan Judicial Review Di Indonesia, Jurnal Rechtidee, Vol 11 No. 2, Desember 2016, Penyelesaian Satu Atap Perkara Judicial Review Di Mahkamah Konstitusi Salam Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i. Volume 6 Nomor 1 2019. ISSN 2356-1459. E-ISSN 2654-9050 - 109 dibebani dengan tugas dan tanggung jawab yang luar biasa berat, yang rawan dan berpotensi menyebabkan tumpukan pekerjaan dan perkara tidak terselesaikan karena beban kerja yang overload, oleh karenanya demi agar terjadi kelancaran dan kesinambungan peradilan, alangkah baiknya jika salah satu beban MA yaitu Judicial Review, diserahkan pada MK. Mahkamah Agung digambarkan sebagai puncak peradilan yang berkaitan dengan tuntutan perjuangan keadilan bagi orang per orang ataupun subjek hukum lainnya, sedangkan Mahkamah Konstitusi tidak berurusan dengan orang per orang, melainkan dengan kepentingan umum yang lebih luas. Perkara-perkara yang diadili di Mahkamah Konstitusi pada umumnya menyangkut persoalan-persoalan kelembagaan negara atau institusi politik yang menyangkut kepentingan umum yang luas ataupun berkenaan dengan pengujian terhadap norma-norma hukum yang bersifat umum dan abstrak, bukan urusan orang per orang atau kasus demi kasus ketidak-adilan secara individuil dan konkrit. Menegaskan bahwa MK adalah court of law, dan MA adalah court of justice. MA sebagai court of justice mengadili ketidakadilan dari subyek hukum untuk mewujudkan keadilan, sedangkan MK sebagai court of law mengadili sistem hukum untuk mencapai keadilan itu sendiri. Judicial review itu termasuk ke dalam ranah court of law dikarenakan judicial review itu tidaklah mengadili orang per orang, lembaga, organisasi, dan subyek hukum melainkan mengadili sistem hukum perundang-undangan demi mencapai keadilan. Oleh karenanya, berdasarkan konstruksi usulan tersebut diatas, kewenangan Judicial Review akan lebih baik dilaksanakan satu atap di Mahkamah Konstitusi. Adapun terkait praktik pengujian peraturan perundang-undangan yang terpisah di MK Undang-Undang dan MA Peraturan perundang-undangan dibawah Undang-Undang seperti saat ini, maka berdasarkan beberapa pertimbangan sebaiknya disatukan di Mahkamah Konstitusi. Adapun argumentasi agar pengujian peraturan Perundang-undangan dilaksanakan dalam format satu atap di MK adalah sebagai berikut 1. Pengujian peraturan perundang-undangan dua atap tentu menyulitkan para pencari keadilan justice seeker dalam perspektif human rights based constitutionalism; 2. Kebijakan hukum harus mempertimbangkan aspek ekonomi efisiensi dan manfaat, sehingga proses Pengujian peraturan perundang-undanganmencerminkan asas cepat, sederhana dan biaya murah; dan 3. Pengujian peraturan perundang-undangan Muhammad Ishar Helmi 110 – Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta satu atap mempertegas peran Mahkamah Konstitusi sebagai the guardian of constitution. Kesimpulan Dari uraian diatas, dapat diambil suatau kesimpulan yakni belajar dari pengalaman terkait dengan lahirnya persoalan hukum sehubung dengan model kewenangan judicial review yang diserahkan kepada dua lembaga kekuasaan yakni Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung, besarnya potensi persoalan yang dihawatirkan akan muncul dikemudain hari, maka menjadi patut kiranya mengkaji ulang model kewenangan Judicial review yang lebih ideal bangsa indonesia. Bahwa pemisahan kewenangan pengujian peraturan perundang-undangan antara Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi adalah tidak ideal dan berpotensi menimbulkan problem hukum yang sangat rumit, baik dari sisi potensi terjadinya konflik putusan antara kedua lembaga peradilan tersebut, juga menimbulkan kerancuan kesetaraan kedudukan antara Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Sehingga kedepan perlu dirumuskan ulang dengan mengintegrasikan kewenangan pengujian peraturan perundang-undangan kepada Mahkamah Konstitusi dengan tolok ukur pengujian adalah mulai dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi sampai pada konstitusi baik melalui perubahan atau penafsiran. Maka dari itu perlu adanya penerapan mengenai penyatuatapan dalam proses penyelesaian perkara judicial review yang harus dijalankan oleh lembaga kekuasaan yakni Mahkamah Konstitusi. Pustaka Acuan Arlinandes, M. Jeffri Chandra. Singkronisasi Norma Hukum Melalui Judicial Review di Mahkamah Konstitusi , No. 1, November 2017. Asshiddiqie, Jimly. Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan dalam UUD 1945, UII Press, Yogyakarta, 2005. Asshiddiqie, Jimly. Gagasan Dasar tentang Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi dalam Butir-butir Pemikiran dalam Hukum, Memperingati 70 tahun Prof. Dr. B. Arief Shiddarta, SH. Penyunting Sri Rahayu Oktoberina dan Niken Savitri, Refika Aditama, Bandung, 2008. Asshiddiqie, Jimly. Kedudukan Mahkamah Konstitusi dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Makalah Kuliah Umum di Fakultas Hukum Universistas Sebelas Maret, Surakarta, 2 September 2004. M. Jeffri Arlinandes Chandra, Singkronisasi Norma Hukum Melalui Judicial Review di Mahkamah Konstitusi , Vol. 1 No. 1, November 2017, Penyelesaian Satu Atap Perkara Judicial Review Di Mahkamah Konstitusi Salam Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i. Volume 6 Nomor 1 2019. ISSN 2356-1459. E-ISSN 2654-9050 - 111 Assiddiqie, Jimly. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Rajawali Pers Jakarta, 2009. Assiddiqie, Jimly. Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Setjen dan kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Jakarta, 2006. Assiddiqie, Jimly. Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara, Konstitusi Pers, Jakarta, 2006 Aji, Ahmad Mukri. Kontekstualisasi Ijtihad Dalam Diskursus Pemikiran Hukum Islam di Indonesia, Bogor Pustaka Pena Ilahi, 2010. Aji, Ahmad Mukri. Urgensi Maslahat Mursalah Dalam Dialektika Pemikiran Hukum Islam, Bogor Pustaka Pena Ilahi, 2012. Kamaruddin, Diskursus Penyatuatapan Peradilan Agama Di Bawah Mahkamah Agung Studi Hukum Responsif, Jurnal AL-'Adl Vol. 8 No. 1, Januari 2015. Kusnardi, Moh; dan Ibrahim, Harmaily. Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universita Indonesia, Jakarta 1983. Maggalatung, A Salman. "Hubungan Antara Fakta Norma, Moral, Dan Doktrin Hukum Dalam Pertimbangan Putusan Hakim," dalam Jurnal Cita Hukum, Vol. 2, No. 2 2014. Maggalatung, A Salman; Yunus, Nur Rohim. Pokok-Pokok Teori Ilmu Negara, Cet-1, Bandung Fajar Media, 2013. MD., Mahfud. Mengawal Arah Politik Hukum Dari Prolegnas sampai Judicial Review, diakses 20 Januari 2019 . Palguna, I Dewa Gede. Pengaduan Konstitusional Constitutional Complaint Upaya Hukum terhadap Pelanggaran Hak-hak Konstitusional Warganegara, Sinar Grafika Jakarta, 2013. Qamar, Nurul. Kewenangan Judicial Review Mahkamah Konstitusi, Jurnal Konstitusi Vol. 1 No. 1, November 2012. Safi', Urgensi Penyatuan Kewenangan Pengujian Peraturan Perundang-undangan oleh Lembaga Peradilan Judicial Review Di Indonesia, Jurnal Rechtidee, Vol 11 No. 2, Desember 2016. Salia, Erli. Peran Mahkamah Konstitusi Dalam Mewujudkan Negara Hukum Yang demokratis, Makalah, Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Palembang. Muhammad Ishar Helmi 112 – Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Simamora, Janpatar. Analisis Yuridis Terhadap Model Kewenangan Judicial Review di Indonesia, Fakultas Hukum Universitas HKBP Nommensen, Oktober 2013. Yunus, Nur Rohim; Sholeh, Muhammad; Susilowati, Ida. "Rekontruksi Teori Partisipasi Politik Dalam Diskursus Pemikiran Politik Negara" dalam Salam; Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i, Vol. 4, No. 3 2017. ... Sedangkan penyerahan pengunduran diri tertulis dari pengurus partai politik merupakan suatu kebijaksanaan yang diberikan karena proses pendaftaran bakal calon anggota DPD telah berlangsung. 6 Implikasi hukum yang terjadi akibat putusan yang saling bertentangan antara putusan MA dengan putusan MK, penulis merasa perlu menjabarkan permasalahan ini terlebih dahulu menggunakan analisis dari susunan peraturan perundang-undangan, serta sifat final dari sebuah putusan. Merujuk pada UUD 1945 yang menjadi dasar hukum terbentuknya kedua lembaga kekuasaan kehakiman ini, didalam UUD 1945 tidak dijelaskan secara tegas mengenai kewenangan yang dimiliki MA tentang kewenangan uji materiil peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang terhadap undang-undang, pada pasal 24A UUD 1945 hanya menjelaskan salah satu kewenangan dari MA adalah "menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang" tetap tidak ada menjelaskan uji materiil yang dilakukan Mahkamah Agung putusannya bersifat final. ...Suparto SupartoThe Supreme Court MA decided that candidates for members of the Regional Representative Council DPD from political party administrators for the 2019 Election were still allowed, even though previously the Constitutional Court MK had banned it Decision No. This conflict is due to differences in interpreting the timing of the implementation of the ongoing 2019 Election stage process. The Constitutional Court stated that the decision was enforced since the 2019 Election and this was not retroactive. Because it is still at the Provisional Candidate List DCS stage, so it is possible to change regulations. Meanwhile, the Supreme Court considers that the Constitutional Court's decision must be enforced after the 2019 Election or apply in the future prospective, because the stages have been running, so that changes in requirements can be made The legal implication that occurs is that there is legal uncertainty for the General Election Commission KPU to follow which decision. To solve this problem can be used the doctrine of validity enforceability of norms. The existence of a hierarchy of legal products being tested and a basis for testing certainly has a legal consequence of the existence of a hierarchy of norm validity in the decisions of the Supreme Court and the Constitutional Court. When there is a conflict between the Supreme Court decision and the Constitutional Court, the verdict with the basis and object of examination in the hierarchy of laws and regulations that is higher, namely the Constitutional Court decision, has a higher validity than the Supreme Court decision. So that problems like this do not exist anymore, testing of laws and regulations should only be carried out by one institution, namely the Constitutional Court. Helmi Chandra SyShelvin Putri IrawanPublic participation is intended the idea of forming laws and regulations does not always have to come from the power holders only, but can emerge from the society. This paper aims to determine the impact of the Constitutional Court’s decision Number 91/PUU-XVIII/2020 on the formation of laws in Indonesia, especially in accommodating public participation which is limited to two main issues. First, how is the form of expanding the meaning of public participation in the Constitutional Court’s decision Number 91/PUU-XVIII/2020. Second, what is the impact of expanding the meaning of public participation in the formation of laws. This doctrinal legal research uses secondary data. The results of the study show that the form of expanding the meaning of public participation in the Constitutional Court’s decision Number 91/PUU-XVIII/2020 is carried out in a meaningful way, by providing guarantees of participation for affected communities and the impact of expanding the meaning of public participation in the formation of laws, namely changing the paradigm of law formation, improvement of regulations and strengthening of public participation as a basis for formal Ayu Widya Ningrum Al KhanifAntikowati AntikowatiThis article aims to find the ideal format to implement the Constitutional Court MK decision through the principle of erga omnes. The erga omnes aims to guarantee the protection of human rights for all citizens. However, the principle of erga omnes cannot be implemented properly due to the gap between adressat and the verdict issued by the MK. This inconsistency and disobedient will result in decline of the erga omnes. An ideal system is needed to improve the application of the Constitutional Court's decisions in accordance with the principle of erga omnes. The results showed that to maximize the principle of erga omnes requires cooperation between the MK and other state institutions or adressat. This can be combined with the implementation of judicial deferral and the provision of deadlines for the follow-up of decisions imposed on adressat as a representation of determining legal boundaries and Meidiana MeidianaThis article discusses the testing of constitutional laws by the constitutional court. Testing legislation is a process for testing written rules that contain common binding legal norms, whether established by state institutions or authorized officials. This article concludes, the integration of important legislations to be objectified, is due to the fact that unintegrating system of legislations are causing confusion, causing institutional conflict between constitutional court and supreme court, and causing discredency between legislation regulations from the bottom to the top. This article will therefore require that the testing of legislation be perfomed by the constitutional court, with a record of the number of judges of the constitutional court to be added in order to bring about the development of laws to test for better legislation in the future. This integration effort demands a change in legal norms related to the authority of the Constitutional Court, both contained in the Constitution and the Judicial Power and the Constitutional Court Laws. Abstrak Artikel ini membahas tentang integrasi pengujian peraturan perundang-undangan oleh Mahkamah Konstitusi. Pengujian peraturan perundang-undangan adalah suatu proses untuk menguji peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum baik yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang. Artikel ini menyimpulkan, integrasi pengujian peraturan perundang-undangan oleh Mahkamah Konstitusi menjadi penting untuk direalisasikan dikarenakan sistem pengujian peraturan perundang-undangan yang tidak terintegrasi menyebabkan kerancuan, menimbulkan konflik kelembagaan antara Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung, serta mengakibatkan ketidaksinkronan antara peraturan perundang-undangan dari yang paling bawah sampai dengan yang paling atas. Oleh karenanya artikel ini menghendaki agar pengujian peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang Dasar terhadap Undang-Undang Dasar dilakukan secara terintegrasi, dalam hal ini oleh Mahkamah Konstitusi, dengan catatan jumlah hakim Mahkamah Konstitusi perlu ditambahkan guna mewujudkan pembangunan hukum pengujian peraturan perundang-undangan yang lebih baik di masa mendatang. Agar integrasi tersebut dimungkinkan, maka perlu dilakukan perubahan norma hukum terkait kewenangan Mahkamah Konstitusi, baik yang terdapat dalam Undang-Undang Dasar maupun Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang Mahkamah JumiatiThe philosophy of independence of judicial power is state power that is free from all forms of intervention both from within and from outside the judicial authority, except on the basis of the power of Pancasila ideology and the 1945 Constitution. because of testing the law that regulates its existence. In addition, the Constitutional Court often decided on several cases that were deemed detrimental, deterred and reduced its duties and authorities such as the additional authority to examine laws before the amendments to the 1945 Constitution, additional authority in testing the Perppu and ultra independensi kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang bebas dari segala bentuk intervensi baik dari dalam maupun dari luar kekuasaan kehakiman, kecuali atas dasar kekuatan idiologi pancasila dan Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Berdasarkan prinsip independensi, hakim Mahkamah Konstitusi sering membuat putusan yang perdebatan karena menguji undang-undang yang mengatur eksistensinya. Selain itu, Mahkamah Konstitusi sering memutus beberapa perkara yang dipandang merugikan, menghalangi dan mengurangi tugas dan kewenangannya seperti tambahan kewenangan menguji undang-undang sebelum amandemen UUD 1945, kewenangan tambahan dalam menguji Perppu dan ultra has not been able to resolve any references for this publication.
PermohonanPK diajukan sendiri oleh pemohon atau ahli warisnya kepada MA melalui ketua pengadilan negeri yang memutus perkara dalam tingkat pertama dengan membayar biaya perkara yang diperlukan. Permohonan PK dapat dilakukan oleh wakil dari pihak yang berperkara yang secara khusus dikuasakan dengan tenggang waktu pengajuan 180 hari.
- Mahkamah Agung MA adalah lembaga negara yang memegang kekuasaan kehakiman bersama dengan Mahkamah Konstitusi MK. Pasal 24 ayat 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 UUD NRI 1945 menyebutkan, kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan Pasal 20 ayat 1 Undang-Undang UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, MA merupakan pengadilan negara tertinggi dari badan peradilan. Artinya, MA membawahi empat badan peradilan di Indonesia, yakni peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara. Lantas, apa saja tugas dan wewenang MA? Baca juga Tugas MPR dan DPRTugas dan wewenang MA Sebagai pengadilan negara tertinggi di Indonesia, MA memiliki tugas dan wewenang seperti dalam UU Kekuasaan Kehakiman. Tugas dan wewenang MA tersebut, antara lain Mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah MA, kecuali undang-undang menentukan lain Pasal 20 ayat 1 huruf a. Menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang Pasal 20 ayat 1 huruf b. Memberi keterangan, pertimbangan, dan nasehat masalah hukum kepada lembaga negara dan lembaga pemerintahan apabila diminta Pasal 22. Melakukan pengawasan tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilan pada semua badan peradilan yang berada di bawahnya dalam menyelenggarakan kekuasaan kehakiman Pasal 24 ayat 1. Selain tugas dan wewenang yang diatur dalam UU Kekuasaan Kehakiman, MA juga memiliki tugas dan wewenang lain, di antaranya Memeriksa dan memutus sengketa tentang kewenangan mengadili Pasal 28 ayat 1 UU Nomor 14 Tahun 1985. Memeriksa dan memutus permohonan peninjauan kembali PK putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan tetap Pasal 28 ayat 1 UU Nomor 14 Tahun 1985. Mengawasi pelaksanaan tugas administrasi dan keuangan Pasal 32 ayat 2 UU Nomor 3 Tahun 2009. Meminta keterangan tentang hal-hal yang bersangkutan dengan teknis peradilan dari semua badan peradilan yang berada di bawahnya Pasal 32 ayat 3 UU Nomor 3 Tahun 2009. Memberi petunjuk, teguran, atau peringatan kepada pengadilan di semua badan peradilan yang berada di bawahnya Pasal 32 ayat 4 UU Nomor 3 Tahun 2009 Melakukan pengawasan internal atas tingkah laku hakim Pasal 32A UU Nomor 3 Tahun 2009. Memberi pertimbangan hukum atas permohonan grasi dan rehabilitasi Pasal 35 UU Nomor 5 Tahun 2004. Baca juga Tugas dan Wewenang DPR Fungsi MA Selain tugas dan wewenang, MA sebagai lembaga negara juga memiliki beberapa fungsi. Dilansir dari laman berikut lima fungsi MA 1. Fungsi peradilan Sebagai pengadilan negara tertinggi, MA berfungsi melakukan hak uji materiil, yakni meninjau apakah suatu peraturan dari isi atau materinya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di atasnya.
Acaraini diselenggarakan Badilag di Bandung. Majalah “Peradilan Agama” edisi ke-5 ini mestinya hadir lebih awal. Namun karena satu dan lain hal, publikasinya jadi mundur. Meski tidak sesuai
403 ERROR Request blocked. We can't connect to the server for this app or website at this time. There might be too much traffic or a configuration error. Try again later, or contact the app or website owner. If you provide content to customers through CloudFront, you can find steps to troubleshoot and help prevent this error by reviewing the CloudFront documentation. Generated by cloudfront CloudFront Request ID 5cJyAA5TT7V2a1v00cso9WiE97zcaqgPgpvRZpHxe52QcS1ZcPEtlA==ekonomiArtikel utama: Ekonomi Hong Kong Sebuah gedung pencakar langit tinggi yang terang benderang di malam hari. The Two International Finance Centre di Central , sebuah pengembangan komersial terpadu di Central . Sebagai salah satu pusat keuangan internasional terkemuka di dunia , Hong Kong memiliki ekonomi layanan kapitalis besar ditandai dengan Sejarah - Mahkamah Agung adalah lembaga negara yang merupakan pemegang kekuasaan kehakiman bersanding dengan Mahkamah Konstitusi yang bebas dari pengaruh cabang-cabang kekuasaan lainnya. Wewenangnya mencakup badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara. Mahkamah Agung MA pertama kali didirikan pada tanggal 18 Agustus 1945, sehari setelah hari kemerdekaan Indonesia. Dengan metode penyusunan yang didominasikan oleh Komisi Yudisial dengan persetujuan DPR dan penetapan Presiden. Lembaga ini disahkan oleh UUD NRI 1945 dengan lama periode masa jabatan lima tahun dan jumlah maksimal adalah 60 Hakim Agung. Sejarah berdirinya Mahkamah Agung RI tidak dapat dilepaskan dari masa penjajahan atau sejarah penjajahan di bumi Indonesia ini. Hal mana terbukti dengan adanya kurun-kurun waktu, dimana bumi Indonesia sebagian waktunya dijajah oleh Belanda dan sebagian lagi oleh Pemerintah Inggris dan terakhir oleh Pemerintah Jepang. Oleh karenanya perkembangan peradilan di Indonesia pun tidak luput dari pengaruh kurun waktu tersebut.1 Baca Hasil Administrasi CPNS 2019, Begini Cara Mengajukan Sanggah, Bukan Untuk Mengunggah Ulang Dokumen Baca Cek Hasil Seleksi Administrasi CPNS 2019 di 19 Pemerintah Daerah, Berikut Linknya! Tugas Pokok dan Fungsi 1. FUNGSI PERADILAN a. Sebagai Pengadilan Negara Tertinggi, Mahkamah Agung merupakan pengadilan kasasi yang bertugas membina keseragaman dalam penerapan hukum melalui putusan kasasi dan peninjauan kembali menjaga agar semua hukum dan undang-undang diseluruh wilayah negara RI diterapkan secara adil, tepat dan benar. b. Disamping tugasnya sebagai Pengadilan Kasasi, Mahkamah Agung berwenang memeriksa dan memutuskan pada tingkat pertama dan terakhir semua sengketa tentang kewenangan mengadili. permohonan peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap Pasal 28, 29,30,33 dan 34 Undang-undang Mahkamah Agung No. 14 Tahun 1985 semua sengketa yang timbul karena perampasan kapal asing dan muatannya oleh kapal perang Republik Indonesia berdasarkan peraturan yang berlaku Pasal 33 dan Pasal 78 Undang-undang Mahkamah Agung No 14 Tahun 1985 c. Erat kaitannya dengan fungsi peradilan ialah hak uji materiil, yaitu wewenang menguji/menilai secara materiil peraturan perundangan dibawah Undang-undang tentang hal apakah suatu peraturan ditinjau dari isinya materinya bertentangan dengan peraturan dari tingkat yang lebih tinggi Pasal 31 Undang-undang Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun 1985. 2. FUNGSI PENGAWASAN a. Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap jalannya peradilan di semua lingkungan peradilan dengan tujuan agar peradilan yang dilakukan Pengadilan-pengadilan diselenggarakan dengan seksama dan wajar dengan berpedoman pada azas peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan, tanpa mengurangi kebebasan Hakim dalam memeriksa dan memutuskan perkara Pasal 4 dan Pasal 10 Undang-undang Ketentuan Pokok Kekuasaan Nomor 14 Tahun 1970. b. Mahkamah Agunbg juga melakukan pengawasan terhadap pekerjaan Pengadilan dan tingkah laku para Hakim dan perbuatan Pejabat Pengadilan dalam menjalankan tugas yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas pokok Kekuasaan Kehakiman, yakni dalam hal menerima, memeriksa, mengadili, dan menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya, dan meminta keterangan tentang hal-hal yang bersangkutan dengan teknis peradilan serta memberi peringatan, teguran dan petunjuk yang diperlukan tanpa mengurangi kebebasan Hakim Pasal 32 Undang-undang Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun 1985. - Terhadap Penasehat Hukum dan Notaris sepanjang yang menyangkut peradilan Pasal 36 Undang-undang Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun 1985. 3. FUNGSI MENGATUR a. Mahkamah Agung dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila terdapat hal-hal yang belum cukup diatur dalam Undang-undang tentang Mahkamah Agung sebagai pelengkap untuk mengisi kekurangan atau kekosongan hukum yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan Pasal 27 Undang-undang Tahun 1970, Pasal 79 Undang-undang Tahun 1985. b. Mahkamah Agung dapat membuat peraturan acara sendiri bilamana dianggap perlu untuk mencukupi hukum acara yang sudah diatur Undang-undang. 4. FUNGSI NASEHAT a. Mahkamah Agung memberikan nasihat-nasihat atau pertimbangan-pertimbangan dalam bidang hukum kepada Lembaga Tinggi Negara lain Pasal 37 Undang-undang Mahkamah Agung Tahun 1985. Mahkamah Agung memberikan nasihat kepada Presiden selaku Kepala Negara dalam rangka pemberian atau penolakan grasi Pasal 35 Undang-undang Mahkamah Agung Tahun 1985. Selanjutnya Perubahan Pertama Undang-undang Dasar Negara RI Tahun 1945 Pasal 14 Ayat 1, Mahkamah Agung diberikan kewenangan untuk memberikan pertimbangan kepada Presiden selaku Kepala Negara selain grasi juga rehabilitasi. Namun demikian, dalam memberikan pertimbangan hukum mengenai rehabilitasi sampai saat ini belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur pelaksanaannya. b. Mahkamah Agung berwenang meminta keterangan dari dan memberi petunjuk kepada pengadilan disemua lingkunga peradilan dalam rangka pelaksanaan ketentuan Pasal 25 Undang-undang Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Pasal 38 Undang-undang Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. 5. FUNGSI ADMINISTRATIF a. Badan-badan Peradilan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud Pasal 10 Ayat 1 Undang-undang Tahun 1970 secara organisatoris, administrative dan finansial sampai saat ini masih berada dibawah Departemen yang bersangkutan, walaupun menurut Pasal 11 1 Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 sudah dialihkan dibawah kekuasaan Mahkamah Agung. b. Mahkamah Agung berwenang mengatur tugas serta tanggung jawab, susunan organisasi dan tata kerja Kepaniteraan Pengadilan Undang-undang No. 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-undang Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. 6. FUNGSI LAIN-LAIN Selain tugas pokok untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya, berdasar Pasal 2 ayat 2 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 serta Pasal 38 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985, Mahkamah Agung dapat diserahi tugas dan kewenangan lain berdasarkan Undang-undang.2 Baca Kementerian Riset dan Teknologi Republik Indonesia Baca Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Republik Indonesia Mahkamah Agung Arti Lambang I. BENTUK Perisai Jawa Tameng / bulat telur II. I S I GARIS TEPI 5 lima garis yang melingkar pada sisi luar lambang menggambarkan 5 lima sila dari pancasila TULISAN Tulisan " MAHKAMAH AGUNG" yang melingkar diatas sebatas garis lengkung perisai bagian atas menunjukkan Badan, Lembaga pengguna lambang tersebut. LUKISAN CAKRA Dalam cerita wayang pewayangan, cakra adalah senjata Kresna berupa panah beroda yang digunakan sebagai senjata " Pamungkas " terakhir. Cakra digunakan untuk memberantas ketidak adilan. Pada lambang Mahkamah Agung, cakra tidak terlukis sebagai cakra yang sering/banyak dijumpai misalnya cakra pada lambang Kostrad, lambang Hakim, lambang Ikahi dan lain-lainnya yakni berupa bentuknya cakra. Jadi dalam keadaan "diam" statis Tidak demikian halnya dengan cakra yang terdapat pada Lambang Mahkamah Agung. Cakra pada lambang Mahkamah Agung terlukis sebagai cakra yang sudah dilepas dari busurnya. Kala cakra dilepas dari busurnya roda panah cakra berputar dan tiap ujung ada delapan yang terdapat pada roda panah cakra mengeluarkan lambang Mahkamah Agung cakra dilukis sedang berputar dan mengeluarkan lidah api Belanda vlam . Cakra yang rodanya berputar dan mengeluarkan lidah api menandakan cakra sudah dilepas dari busurnya untuk menjalankan fungsinya memberantas ketidakadilan dan menegakkan kebenaran. Jadi pada lambang Mahkamah Agung, cakra digambarkan sebagai cakra yang " aktif ", bukan cakra yang " statis " PERISAI PANCASILA Perisai Pancasila terletak ditengah-tengah cakra yang sedang menjalankan fungsinya memberantas ketidak adilan dan menegakkan kebenaran. Hal itu merupakan cerminan dari pasal 1 UU Nomor 14 tahun 1970 yang rumusnya. " Kekuasaan Kehakiman adalah Kekasaan Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia." Catatan Rumusan pasal 1 UU Nomor 4 tahun 2004 sama dengan Dengan rumusan pasal 1 UU Nomor 14 tahun 1970. UNTAIAN BUNGA MELATI Terdapat 2 dua untaian bunga melati masing-masing terdiri dari atas 8 delapan bunga melati, melingkar sebatas garis lengkung perisai bagian bawah, 8 delapan sifat keteladanan dalam kepemimpinan hastabrata. SELOKA " DHARMMAYUKTI" Pada tulisan "dharmmayukti" terdapat 2 dua huruf M yang berjajar. Hal itu disesuaikan dengan bentuk tulisan " dharmmayukti " yang ditulis dengan huruf Jawa. Dengan menggunakan double "A" yang terdapat pada akhir kata "dharma" akan dilafal sebagai "A" seperti pada ucapan kata "ACARA ", "DUA" "LUPA" dan sebagainya. Apabila menggunakan 1 satu huruf "M", huruf "A" yang terdapat pada akhir kata "dharmma" memungkinkan dilafal sebagai huruf "O" seperti lafal "O" pada kata "MOTOR", "BOHONG" dan lain-lainnya. Kata "DHARMMA" mengandung arti BAGUS, UTAMA, KEBAIKAN. Sedangkan kata "YUKTI" mengandung arti SESUNGGUHNYA, NYATA. Jadi kata "DHARMMAYUKTI" mengandung arti KEBAIKAN/KEUTAMAAN YANG NYATA/ YANG SESUNGGUHNYA yakni yang berujud sebagai KEJUJURAN, KEBENARAN DAN KEADILAN.2 Baca Kementerian Agraria dan Tata Ruang Republik Indonesia Baca Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Logo Mahkamah Agung Struktur Organisasi Mahkamah Agung terdiri dari Pimpinan Hakim Anggota, Kepaniteraan Mahkamah Agung, dan Sekretariat Mahkamah Agung. Pimpinan dan hakim anggota Mahkamah Agung adalah hakim agung. jumlah hakim agung paling banyak 60 enam puluh orang. Struktur Organisasi Mahkamah Agung Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004, Pimpinan Mahkamah Agung terdiri dari seorang ketua, 2 dua wakil ketua, dan beberapa orang ketua muda. Wakil Ketua Mahkamah Agung terdiri atas wakil ketua bidang yudisial dan wakil ketua bidang nonyudisial. Wakil ketua bidang yudisial yang membawahi ketua muda perdata, ketua muda pidana, ketua muda agama, dan ketua muda tata usaha negara sedangkan wakil ketua bidang nonyudisial membawahi ketua muda pembinaan dan ketua muda pengawasan.3 Dengan adanya penerapan sistem kamar di Mahkamah Agung, pada tahun 2013 nomenklatur unsur Pimpinan Mahkamah Agung RI berubah berdasarkan Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor 50A/KMA/SK/IV/2013.4 OktavianiC96np. 16120049625339273369483136